Tuesday, January 22, 2013

Bapak, Tak Mau Ku Panggil Ayah




                        Cat putih itu terlekat erat di rambut ayah. Seseorang berbadan tinggi dan tidak gemuk. Beliau adalah Mochamad Munif,ayah dari dua bersaudara. Ibu sangat mencintai ayah karena ketangguhannya dalam menghidupi keluarga. Ibupun sangat kagum dengan ketanggung jawaban ayah dalam menghadapi kerasnya hidup ini.
                        Ayah, meskipun di hari-hari biasanya aku memanggilmu bapak . Namun izinkan di sini aku memanggilmu demikian . Sebelum aku bercerita tentang dirimu aku persembahkan sebuah puisi kecil hanya untukmu .
                        Kala rinai hujan membasahi peluh
                        Tak lelah tak pernah asa
                        Membanting tulangmu
                        Merajut kebahagiaan angan
                        Dalam balutan kekurangan
                        Cintamu tak pernah pudar
                        Menjamu setiap keluhan
                        Menerangi jiwa kelam
                                                Ayah, kau adalah dewa
                                                Dewa bagi keluargamu
                                                Penunjuk jalan ketika salah arah
                                                Memikul batu dalam tawa
                                                Kau adalah segalanya ayah
                                               
                        Saya masih ingat beberapa tahun silam . Ayah(bapak) saya tidak mau di panggil ayah . Entah alasan kelas ekonomi atau apa . Yang pasti bapak atau ayah tetap saja hebat di mata saya, ibu ,nenek dan adik saya . " Bapak adalah orang yang sangat bertanggung jawab", kata ibu yang sedang memakai baju cokelat di kursi ruang tamu . Adik saya satu-satunya yang bernama Arum Mita Elfani menyahut dari balik pintu ,
" Bapak hebat kak , walau lulusan MIN (SD sederajat) bisa selalu menjawab PR-ku yang sulit kukerjakan. Padahal itu soal SMP " .
                        " Bapakmu hebat nduk , bisa menggantikan mbahkung dulu sebagai kepala keluarga ", kata nenek sembari berjalan terseok. Ya,dia adalah ayah kami, ayah bagi aku,ibu dan adik . Yang sehari-hari dipanggil dengan panggilan "Bapak". Ayah yang bernama lengkap Mochammad Munif ini sangat hobi memelihara burung . " Bapakmu ini sukanya ya mengoleksi burung yang kicaunya indah", jelas ayah saya yang suka mie ayam tersebut.
                        Di masa kecil , selain yang paling tidak bisa kulupakan atas panggilan ayah . Yaitu tentang dongeng kancil dari beliau yang selalu menemani malam ketika sebelum tidur. Ayah adalah orang kedua yang paling saya sayangi. Beliau adalah sosok kedua yang sangat saya cintai di dunia ini setelah ibu. Meski ayah adalah orang kedua yang saya sayangi, namun ayah adalah orang pertama yang wajib dibanggakan setelah ibu.
                       
                        “Bapakmu , Cuma sekolah MIN(Madrasah Ibtidaiah Negeri) tok nduk , bar iku lansung mergawe ngewangi mbahkung mu nyekolaho adik-adike”,jelas nenek malam itu Kamis, 20 Desember 2012. Saya melakukan tanya jawab singkat mengenai bapak , di rumah sederhana warisan kakek . Tepatnya di Desa Rengel, Kecamatan Rengel , Kabupaten Tuban.
                        Malam itu sekitar pukul 20.00 WIB dengan diselimuti hawa dingin , nenek , orang yang dari kecil kupanggil MAK’E .Bercerita banyak tentang masa kecil ayah.” Bapakmu iku penurut pit, dikongkon gak tau bantah. Senengane makan iwak dowo cilikane,ngerti gak iwak dowo?iwak dowo ki iwak sing utuh lengkap karo ndas buntut”,papar  mak’e yang sambil tertawa memperlihatkan gigi ompongnya.
                        Nenek yang sedang duduk di kursi juga bercerita sekilas tentang jaman dulu yang sangat sulit untuk makan sesuap nasi. “Tak ceritani lucu nduk, karena beras larang dadi mbiyen makan ki tak campur sego jagung.Tapi goro-goro bapakmu gak doyan sego jagung ,akhire di ajak mbah kungmu makan tok kamar. Kamar kan gelap , dadi gak ketok antarane sego jagung karo nasi. Alias bapakmu di bujuki ben gelem mangan.Hahaha”,tawa make memecah hening desa kami.
                        Dari cerita nenek ,saya bisa membayangkan, zaman tahun 60-an . Saat dimana ayah masih kecil, dan kakek yang kebingungan mengurus 7 anaknya . Hingga tahun 80-an , ketika ayah mulai tumbuh menjadi sosok hebat kerja sana-sini untuk keluarga yang di sayangi.
Perjalanan ayah di awali dari sebuah galeri foto. Bahkan aku sedikit kaget mendengarnya. Karena beda jauh dengan pekerjaan beliau saat ini.
                        “Bapak, setelah lulus MIN/SD sederajat langsung bekerja di Kediri sekitar tahun 80-an di sebuah galeri foto. Bukan hanya itu bapak di sana juga serabutan , bahkan pernah menggembala pula”, ungkap ayah dengan tenang.Ayah yang ketika itu menggunakan kaos polos , kaos yang sering di pakainya di rumah. Menceritakan pengalaman hidupnya pada saya.
                        Karena tidak betah di Kediri ayah memutuskan pulang dan membantu mbahkung menjahit.Menengok sekilas tentang ayah yang pernah menjahit. Saya teringat mesin jahit tua yang bermade in Cina  .Entah apa merknya karena saking lamanya, hingga tidak kelihatan merknya. Mesinyang setiap hari menemani hari-hari ayah yang penuh peluh .
                        Hingga tahun 1987 mbahkung meninggal . “Secara tidak langsung , bapak menjadi kepala keluarga nduk, mergawe mbantu bulek-bulekmu sekolah dan menghidupi keluarga”,terang ayah dengan penuh perasaan meski uban putihnya semakin tumbuh di kepala beliau. Luar biasa sosok pahlawan dalam keluarga ini . Ayah yang masih muda kala itu memanggul beratnya jadi seorang kepala keluarga .
                        Namun apa hendak di kata,semua adalah takdir Allah . Manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a. Jalan lurus adalah jalan yang dipilih ayah. Betapa bangganya saya dan keluarga saya yang lain. Karena memiliki orang yang berjasa bagi banyak anggota keluarga.
                        Setelah budhe menikah dengan orang Bojonegoro , ayah di ajak budhe ke Bojonegoro untuk belajar nge-jok kursi bersama pak dhe.
Tiba-tiba saya teringat akan foto di album keluarga , foto bapak berdiri di sebuah rumah besar yang di belakangnya terpampang foto mantan presiden alm.Soeharto bersama istrinya.” Oo.. itu foto bapak saat di suruh bos bapak yang di Bojonegoro untuk menggarap kursi Alm.Bapak Soeharto . Tepatnya di Istana Kalitan Surakarta Hadiningrat seperti yang tercantum di foto tersebut”,bapak bercerita bangga sambil mengingat-ingat foto yang di pegangnya.


Pada tahun 90-an, ayah pindah kerja ke Jakarta. " Di Jakartalah ibu bertemu dengan bapakmu dan akhirnya berjodoh",terang ibu yang sedang menonton tv bersama saya.
Perjalanan cinta ayah dan ibu ternyata di awali dengan ketidaksengajaan. Ibu yang saat itu juga merantau di Jakarta. Bekerja sebagai penjaga toko obat. Di toko obat itulah ibu dan ayah bertemu dan berkenalan.
Ibu dengan pipi agak memerah bercerita panjang lebar kepada saya, " Ceritanya begini , setelah bertemu dan berkenalan. Ibu dan bapak saling berkirim surat. Eh, di ajak janjian berlanjut jalan-jalan. Bapak mengajak ibu jalan-jalan ke Ancol, Bogor , TMII ,dll . Saat ibu sedang liburan kerja di rumah Wonocolo . Tiba-tiba bapakmu datang melamar ibu . Ibu kaget saat itu dan tidak menyangka sama sekali . Lalu setelah lamaran ya akhirnya menikah, hingga sekarang punya anak dua" Tahun 1995, tepatnya tanggal 6 Mei ibu dan ayah resmi menjadi suami istri. Satu tahun kemudian lahirlah anak pertama pada tanggal 20 Februari 1996. Yang tidak lain adalah saya sendiri.

" Meski kamu dilahirkan di Rengel , saat kamu bayi bapak dan ibu memilih tinggal di Jakarta. Walaupun itu hanya berlangsung singkat", papar ayah penyuka warna biru setelah saya tanya kenapa foto ketika saya bayi seperti tidak di Rengel . Dan ternyata benar .
Sesudah di Jakarta , ayah lebih memilih tinggal di Rengel . Alasannya hanya satu , tidak tega meninggalkan nenek sendirian.

"Karena itu bapakmu kembali bekerja di Bojonegoro . Agar dekar dengan keluarga dan bisa pulang setiap hari",terang ibu dengan tangan memegang sisir .
Jam dinding kamar saya menunjukkan pukul 20.50 . Ibu dengan suara halusnya masih betah bercerita tentang bapak .

Ibu pun memberi tahu saya kenapa sekarang ayah bekerja di Mojokerto, bukan di Bojonegoro lagi . Beliau menjelaskan bahwa saat di Bojonegoro , kerjaan sepi hingga ayah menganggur selama sebulan . Dua minggu kemudian , teman ayah mengajak ayah untuk bekerja di Mojokerto. "Bapak dan ibu bersyukur sekali mendengar tawaran itu .Bapak pun langsung mau bekerja di sana", jelas ibu sambil menguap.
Sampai hari ini ayah masih setia bekerja di Mojokerto . Pulang pergi dengan motor smashnya . Tidak perduli jarak dan lelah ." Yang penting kamu dan adikmu bisa sekolah . Jangan sampai lupa sholat dan berdo'a", tutur ayah yang sering dikatakan pada saya.
Ayah , di sini saya memanggilmu dengan panggilan demikian . Maaf bila engkau tidak berkenan . Karena dari dulu saya ingin memanggilmu dengan nama "ayah" . Ayah , kaulah bapakku . Bapak , kaulah ayahku . Penerang jiwa ibu , aku , adik dan nenek . Terimakasih ayah . Aku sayang ayah , kami semua sayang ayah. Aku ingin hari membuat tulisan ini adalah "Hari Ayah" untukmu ayahku .


Tuban, 25 Desember 2012
10:44 WIB

v